Kamis, 01 November 2012

Pengertian Filsafat
Menurut Ciceros (106-43 SM), penulis Romawi orang yang pertama memakai kata-kata filsafat adalah Phytagoras (497 SM), sebagai reaksi terhadap cendikiawan pada masanya yang menamakan dirinya ”Ahli pengetahuan”, Phytagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam artinya yang lengkap tidak sesuai untuk manusia . tiap-tiap orang yang mengalami kesukaran-kesukaran dalam memperolehnya dan meskipun menghabiskan seluruh umurnya, namun ia tidak akan mencapai tepinya. Jadi pengetahuan adalah perkara yang kita cari dan kita ambil sebagian darinya tanpa mencakup keseluruhannya. Oleh karena itu, maka kita bukan ahli pengetahuan, melainkan pencari dan pencinta pengetahuan
Menurut Prof, I.R. PUDJAWIJATNA menerangkan juga ”Filo” artinya cinta dalam arti seluas-luasnya yaitu ingin dan karena ingin itu selalu berusaha mencapai yang diinginkannya . ”Sofia artinya kebijaksanaan artinya pandai, mengerti dengan mendalam.2
Syekh Mustafa abdurraziq, setelah meneliti pemakaian kata-kata filsafat dikalangan muslim, maka berkesimpulan bahwa kata-kata hikmah dan hakim dalam bahasa arab dipakai dalam arti ”filsafat dan filosof”
Sedangkan menurut Prof. Dr. Fuad Hassan guru besar psikologi universitas indonesia menyimpulkan bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal dalam arti mulai dari
radix suatu gejala dari akar suatu hal yang hendak dimasalahkan, dan dengan
jalan penjajagan yang radikal filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-
kesimpulan yang universal
ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU PENGETAHUAN ( Rasionalime)
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal manusia.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja. Kerjasama ini akan melahirkan metode sains (Scientific Methods) dan dari metode ini melahirkan pengetahuan sains (Scientific Knowledge) yagn dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai pengetahuan Ilmiah.
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.
Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut.
Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para pengusungnya. Sejarah Rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini jelas kemudian dilajutkan oleh orang – orang sofis dan tokoh – tokoh penentangnya yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke 17 sampai akhir abad ke 18. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke 17 dan lebih lagi selama abad 18 antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan.
Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad 18 disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
yang paling menonjol diantara mereka adalah Rene Descartes, sebagai orang pertama dalam zaman modern yang meyakini bahwa dasar semua pengetahuan berada dalam pikiran. Yaitu dengan jargon yang dibawanya “aku berpikir maka aku ada” yang dalam bahasa Latin kalimat ini adalah “Cogito Ergo Sum” sedangkan dalam bahasa Prancis adalah “Je Pense Donc Je Suis”. Sehingga iapun layak diberi gelar sebagai Bapak Filsafat Modern. Kata modern di sini hanya mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat abad pertengahan Kristen.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia editations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644; dan Les Passiones de L’ame (1650).
Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi tentang maksud dari cogito, ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan. Dalam aliran ini Descartes tersirat sebagai seorang yang subjektif dengan menilai sesuatu dengan ukuran dia sendiri, individualis dengan melakukannya seorang diri, dan humanis dengan mengedepankan kemanusiaanya.
Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasar – dasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri. Tahapan berpikir Descartes di atas dapat diringkaskan sebagai berikut :
Benda indrawi tidak ada
Gerak, jumlah, besaranTidak ada
Saya sedang ragu, ada
Saya ragu karena saya berpikir
Jadi, saya berpikir ada
Tokoh lain dalam aliran ini adalah Leibniz. Nama lengkapnya Gotifried Wilhelm von Liebniz lahir pada tahun 1646 dan meninggal pada tahun 1716. Seorang filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Pusat metafisikanya adalah ide tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Kelebihan aliran Rasionalisme
Kelebihan rasionalisme adalah mampu menyusun sistem – sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia. Umpamanya logika, yang sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan kebenaran rasio diuji dengan verifikasi kosistensi logis. Kelebihan lain Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman – pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia.
Kelemahan aliran Rasionalisme
Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka. Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut. Rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas , dan bebas berpendapat bahwa pengalaman atau pengamatan bukan suatu jaminan untuk mendapat kebenaran. Beberapa realitas dapat dicapai validitasnya tanpa bantuan pengalaman empirisme. Di antaranya adalah dengan deduksi dan intuisi adalah suatu metode pemikiran tanpa dibuktikan dengan metode empirisme, namun mengandung kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi.
Konsekuensi rasional adalah sebab-akibat, akibat kebenaran adalah sebab – sebab yang menyatakannya benar, sedangkan kebenaran beberapa realitas dapat dikenali dengan adanya sebab – sebab dan akibat tersebut.
ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU PENGETAHUAN ( Empirisme )
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalamanmanusia. Dan merupakan salah satu konsep mendasar tentang filsafat sains. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alamai selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengamalan. Dan sebuah hipotesa ilmiah akan dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah itu dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangakan teori – teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal. . Empirisme mempunyai dua ciri pokok yaitu mengenai teori tentang makna dan tentang pengetahuan.
Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, sehingga muncul sebuah rumusan “ Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu” yang artinya tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Ini merupakan bantahan keras yang dilontarkan Locke untuk melawan para ilmuwan rasionalis.
Akan tetapi Descartes tak bisa tinggal diam, dengan sanggahan yang ia siapkan ia membedakan dua fungsi akal: fungsi diskursif yang menajdikan kita mampu membuat konklusi dari premis, dan kedua fungsi intuitif yang menjadikan kita mampu menangkap kebenaran terakhir dan menangkap konsep secara langsung.
Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “sesuatu kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika yang sering dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh melalui intuisi rasional. Akan tetapi Empirisme menolaknya dengan alasan bahwa kemampuan intuisi rasional itu tidak ada. Semua kebenaran tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a poteriori.
Menurut empirisme lagi, bahwa manusia tidak mempunyai gagasan atau konsepsi bawaan mengenai dunia sebelum ia melihatnya. Jika kita benar-benar mempunyai konsepsi atau gagasan yang tidak dapat dikaitkan dengan fakta –fakta yang telah dialami, itu merupakan suatu knsepsi yang salah. Jika kita menggunakan kata – kata seperti “Tuhan”aran a poteriori. alui intuisi rasional.gsi intuit, “keabadian”, atau “ substansi”, itu berarti akal telah disalahgunakan, sebab tidak ada yang pernah mengalami Tuhan, keabadian, atau apa yang disebut oleh para filosof sebagai substansi.
John Locke
John Locke adalah seorang filosof Inggris. Lahir di Wrington, Somersetshire, pada tahun 1632. Tahun 1647 – 1652 ia belajar di Westminster. Pada tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford.
Filsafat Locke bisa dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diusung oleh Descartes. Tetapi ia tidak setuju dengan intuisi dan metode deduktif dan menggantikannya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau induksi.
Ia banyak mengkritisi pemikiran – pemikiran kaum rasionalis seperti Descartes dengan Clear and distinc idea, Adequate idea oleh Spinoza, Truth of reason oleh Leibniz. Karena menurutnya sesuatu yang innate (bawaan) tidak ada dengan berbagai argumen yang ia munculkan. Dan lebih jauh dalam teori tabula rasa ia mengatakan:
“Marilah kita andaikan jiwa itu laksana kertas kosong, tidak berisi apa – apa, juga tidak ada idea di dalamnya. Bagaimana ia berisi sesuatu? Untuk menjawab pertanyaan ini saya hanya mengatakan : dari pengalaman; didalamnya seluruh pengetahuan didapat dan dari sana seluruh pengetahuan berasal”.
Di dalam teori ini Locke menggunakan tiga istilah: sensasi, ide-ide, sifat atau kualitas. Dan iapun membedakan antara kualitas primer dan kualitas sekunder. Yang termasuk dalam kualitas primer adalah yang menyangkut luas, berat, gerakan, jumlah, dan lainnya. Sedangkan yang termasuk dalam kualitas sekunder warna, bau, rasa dan suara yang tidak meniru kualitas – kualitas sejati yang melekat pada sebuah benda. Dan penilaian kualitas sekunder banyak tergantung akan oleh indrawi seorang manusia.
David Hume
Tokoh lain pada aliran empirisme adalah David Hume. David Hume lahir di Edinburg, Skotlandia pada 1711.Ia pun menempuh pendidikannya di sana. Keluarganya berharap agar ia kelak menjadi ahli hukum, tetapi Hume hanya menyenangi filsafat dan pengetahuan. Setelah dalam beberapa tahun belajar secara otodidak, ia pindah ke La Flèche, Prancis (tempat di mana Descartes menempuh pendidikan). Sejak itu pula hingga wafatnya 1776 ia lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di Prancis.
Hume mengajukan tiga argumen untuk menganalisis sesuatu, pertama, ada ide tentang sebab akibat (kausalitas). Kedua, karena kita percaya kausalitas dan penerapannya secara universal, kita dapat memperkirakan masa lalu dan masa depan kejadian. Ketiga, dunia luar diri memang ada, yaitu dunia bebas dari pengalaman kita. Dari tiga dasar kepercayaan Hume tersebut, ia sebenarnya mengambil kausalitas sebagai pusat utama seluruh pemikirannya. Ia menolak prinsip kausalitas universal dan menolak prinsip induksi dengan memperlihatkan bahwa tidak ada yang dipertahankan, baik itu relations of ideas dan matter of fact.
Jadi, Hume menolak pengetahuan apriori, lalu ia juga menolak sebab-akibat, menolak pula induksi yang berdasarkan pengalaman. Segala macam cara memperoleh pengetahuan, semuanya ditolak. Inilah skeptis tingkat tinggi. Sehingga Solomon menyebut Hume sebagai ultimate skeptic. Dikarenakan sifat skeptisnya yang berlebihan Hume juga tidak mengakui adanya Tuhan.
Dari berbagai penjelasan yan disimpulkan oleh Hume sebenarnya merupakan bentuk dari penentangannya terhadap paham rasionalisme. Ia mengatakan bahwa hanya dengan berpikir, tanpa informasi dari pengalaman indera, kita tidak mengetahui apa – apa tentang dunia. Tapi dengan bantuan pengalaman juga kita tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu. Ini jelas menunjukkan sikap skeptis yang ada pada Hume.
Karena ilmu pengetahuan dan filsafat sama sekali berdasarkan kausalitas, Hume harus menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat tidak mampu mencapai kepastian dan tidak pernah melebihi taraf probabilitas.
Kebenaran yang bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori.
Keterbatasan empirisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt dan Suriasumantri terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang merupakan dasar utama empirisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
Kedua, dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan empirisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan.
Ketiga, di dalam empirisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dewey menyebutkan bahwa hal yang paling buruk dari metode empiris adalah pengaruhnya terhadap sikap mental manusia. Beberapa bentuk mental negatif yang dapat ditimbulkan oleh metode empiris antara lain: sikap kemalasan dan konservatif yang salah. Sikap mental seperti ini menurutnya, lebih berbahaya daripada sekedar memberi kesimpulan yang salah. Sebagai contoh dikatakan bahwa apabila ada suatu penarikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan pengalaman masa lalu menyimpang dari kebiasaan, maka kesimpulan tersebut akan sangat diremehkan. Sebaliknya, apabila ada penegasan yang berhasil, maka akan sangat dibesar-besarkan.
Terhadap empirisme Immanuel Kant juga memberi kritiknya bahwa meskipun empirisme menolak pengetahuan yang berasal dari rasio, tetapi pengalaman dan persepsi yang merupakan dasar kebenaran dalam empirisme tidak dapat memberi suatu pengetahuan yang kebenarannya adalah universal dan bernilai penting.
Kritik lain yang juga diungkapkan oleh Brower dan Heryadi bahwa tidak mungkin unsur-unsur khusus menghasilkan suatu kebenaran yang bersifat universal. Meskipun diakui bahwa munculnya pengetahuan dan legitimasinya berasal dari pengamatan, tetapi pada kenyataan tidak semua sumber pengetahuan hanya terdapat dalam pengamatan.
ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU PENGETAHUAN ( Intuisionisme )
Intuisionisme adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya dalah Henri Bergson.
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal, Bergson menganggap adanya kemampuan tingkat tinggi dalam diri manusia, yaitu intuisi. Intuisi adalah suatu bentuk pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis.
Fungsi intuisi adalah untuk mengenal hakikat pribadi atau ‘aku’ dengan lebih murni dan untuk mengenal hakikat seluruh kenyataan. Intuisi inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh, sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap.
Untuk memahami kebenaran yang utuh, tetap unik (keseluruhan) yaitu dengan intuisi( = pengetahuan tingkat tinggi, kemampuan tertinggi yang dimiliki manusia) Intuisi ini menangkap obyek secara langsung tampa melalui pemikiran rasio
Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha (latiahan). àIluminasionisme àteori kasyaf, Metoda : riyadhah (thariqat), manusia yang hatinya bersih akan sanggup menerima pengetahuandarituhan Hati (Jiwa)à riyadhah àKasyaf àpengetahuan
Aliran intuisionisme dipelopori oleh Luitzen Egbertus Jan Brouwer (1881–1966) yang berkebangsaan Belanda. Aliran ini sejalan dengan filsafat umum yang dicetuskan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Intusionis mengklaim bahwa matematika berasal dan berkembang di dalam pikiran manusia. Ketepatan dalil-dalil matematika tidak terletak pada simbol-simbol di atas kertas, tetapi terletak dalam akal pikiran manusia. Hukum-hukum matematika tidak ditemukan melalui pengamatan terhadap alam, tetapi mereka ditemukan dalam pikiran manusia.
Keberatan terhadap aliran ini adalah bahwa pandangan kaum intusionis tidak memberikan gambaran yang jelas bagaimana matematika sebagai pengetahuan intuitif bekerja dalam pikiran. Konsep-konsep mental seperti cinta dan benci berbeda-beda antara manusia yang satu dengan yang lain. Apakah realistik bila menganggap bahwa manusia dapat berbagi pandangan intuitif tentang matematika secarapersis sama?
Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan intuisionisme dalam filsafat matematika antara lain
Luitzen Egbertus Jan Brouwer (1881 – 1966)
Brouwer dilahirkan di sebuah kota di Overschie, Belanda. Di kalangan teman-temannya, Brouwer sering dipanggil dengan nama “Bertus.” Pada tahun 1897, Brouwer mengikuti kuliah di universitas Amsterdam untuk belajar matematika dan fisika. Salah seorang dosennya, Diederik Korteweg, dosen matematika, kelak memberi pengaruh besar bagi dirinya. Korteweg terkenal karena mengemukakan suatu persamaan yang disebut persamaan Korteweg – de Vries.
Dosen lain yang mempengaruhinya adalah Gerrit Mannoury, dosen filsafat. Karya pertama Brouwer adalah rotasi pada ruang empat dimensi di bawah bimbingan Korteweg.
Menurut Brouwer, dasar dari intuisionisme adalah pikiran. Namun pemikiran-pemikiran yang dicetuskannya banyak dipengaruhi oleh pandangan Immanuel Kant. Matematika didefinisikan oleh Brouwer sebagai aktifitas berpikir secara bebas, namun eksak,suatu aktivitas yang ditemukan dari intuisi pada suatu saat tertentu. Dalam pandangan intuisionisme tidak ada realisme terhadap objek-objek dan tidak ada bahasa yang menjembatani, sehingga bisa dikatakan tidak ada penentu kebenaran matematika diluar aktivitas berpikir. Proposisi hanya berlaku ketika subjek dapat dibuktikan kebenarannya (dibawa keluar dari kerangka pemikiran). Singkat kata, Brouwer mengungkapkan bahwa “tidak ada kebenaran tanpa dilakukan pembuktian”.
Brouwer konsisten dengan falsafahnya. Hal ini dinyatakannya apakah matematika perlu dibenahi agar kompartible atau tidak-kompartible dengan matematika klasik adalah pertanyaan yang kurang penting lagi, dan tidak dijawab. Pandangannya terhadap matematika tradisional, dia menganggap dirinya hanya sekedar menjadi seorang tukang revisi.
Disimpulkan, dimana artimatika intusionistik adalah bagian (sub-sistem) dari aritmatika klasik, namun hal ini tidak berlaku untuk analisis./Untuk analisis, tidak semua analisis klasikal diterima atau dipahami secara intusionistik, tetapi tidak ada analisis intusionistik secara klasik diterima. Brouwer mengambil langkah ini dengan segala konsekuensinya dengan sepenuh hati. Bukan berarti pandangan Brouwer ini tidak ada yang mendukung.
Di luar negaranya, Belanda, pandangan ini didukung oleh Herman Weyl. Brouwer memegang prinsip bahwa matematika adalah aktivitas tanpa-perlu-diutarakan (languageless) yang penting, dan bahasa itu sendiri hanya dapat memberi gambaran-gambaran tentang aktivitas matematikal setelah ada fakta. Hal ini membuat Brouwer tidak mengindahkan metode aksiomatik yang memegang peran utama dalam matematika.
Membangun logika sebagai studi tentang pola dalam linguistik yang dibutuhkan sebagai jembatan bagi aktivitas matematikal, sehingga logika bergantung pada matematika (suatu studi tentang pola) dan bukan sebaliknya. Semua itu digunakan sebagai pertimbangan dalam memilah antara matematika dan metamatematika (istilah yang digunakan untuk ‘matematika tingkat kedua’), yang didiskusikannya dengan David Hilbert.
Berdasarkan pandangan ini, Brouwer bersiap merombak kembali teori himpunan Cantor. Ketika upaya ini mulai dilakukan dengan ‘membongkar’ kategori bilangan sekunder (bilangan ordinal tak terhingga/infinite) dan kategori bilangan ordinal infiniti yang lebih besar, tapi juga gagal. Disadari bahwa metodenya tidak berlaku dan tidak dapat menyelesaikan kategori-kategori bilangan lebih tinggi, dan hanya meninggalkan bilangan ordinal terbatas (finite) dan tidak dapat diselesaikan atau terbuka (open-ended) bagi sekumpulan bilangan ordinal tak-terhingga/infinite.
intuisionisme mempunyai ruang gerak lebih besar daripada matematika konstruktif aliran-aliran lainnya (termasuk di sini disertasi Brouwer) adalah pilihan-pilihan dalam melihat suatu deret. Banyak diketahui deret-deret bilangan tak-terhingga (atau obyek-obyek matematikal lain) dipilih mendahului yang lainnya oleh setiap matematikawan sesuai keinginan mereka masing-masing. Memilih suatu deret memberi mereka impresi awal secara intuisi menerima obyek yang ditulisnya pada buku yang terbit pada tahun 1914.; prinsip yang membuat secara matematika mudah dikerjakan, prinsip berkesinambungan, yang diformulasikan pada kuliah Brouwer pada tahun 1916.
Tujuan utama memilih deret merupakan rekonstruksi analisis; titik-titik dalam (bidang) kontinuum (bilangan-bilangan nyata) yang diidentifikasi dengan memilih deret yang memenuhi persyaratan kondisi-kondisi tertentu. Memilih berbagai pilihan deret dapat dilakukan dengan menggunakan alat uang disebut dengan ‘spread’, yang mempunyai fungsi mirip dengan analisis klasik Cantorian, dan awalnya Brouwer menggunakan istilah ‘gabung’ (‘himpunan’) untuk berbagai spread.
Guna mengukuhkan teori spread dan teori titik-titik ini yang digunakan sebagai dasar ini, termaktub dalam dua makalah yang diterbitkan pada tahun 1918/1919, Founding Set Theory Independently of the Principle of the Excluded Middle.
Arend Heyting (1898-1980)
Di lain hal, murid Brouwer yang memiliki pengaruh besar pada perkembangan intuisionisme filsafat matematika adalah Arend Heyting. Heyting membangun sebuah formalisasi logika intuisionisme yang sangat tepat. Sistem ini dinamakan ”Predikat Kalkulus Heyting”. Heyting menegaskan bahwa dari asumsi metafisika yang pokok dalam kebenaran realism-logika klasik, bahasa matematika klasik adalah pengertian faktor-faktor objektivitas syarat-syarat kebenaran yang terbaik. Semantic matematika klasik menggambarkan suatu kondisi dalam pernyataan benar atau salah. Semantic seperti ini tidak tepat untuk intuisinisme. Sebagai pengganti, bahasa intuisionisme seharusnya dimengerti dalam faktor-faktor syarat-syarat penyelesaian. Semantic akan menggambarkan suatu perhitungan seperti sebuah penyelesaian kanonikal untuk setiap permasalahan.
Heyting mempunyai andil dalam pandangan Brouwer mengenai kelaziman kontruksi mental dan down playing bahasa dan logika. Dalam buku “Intuitionism” (1956: 5) dia mengemukakan pendapat Brouwer, bahasa adalah media tidak sempurna untuk mengkomunikasikan konstruksi nyata matematika. System formalnya adalah dirinya sendiri sebagai sebuah legitimasi konstruksi matematika, tetapi satu yang tidak diyakini system formal menggambarkan secara utuh domain pemikiran matematika. Pada suatu penemuan metode baru memungkinkan kita untuk memperluas system formal. Heyting menegaskan logika bergantung pada matematika bukan pada yang lain. Oleh karena itu, Heyting tidak bermaksud pekerjaannya pada logika untuk menyusun pertimbangan intuisionistik.
Sir Michael Anthony Eardley Dummett (1925 – sekarang)
Mengingat kembali Brouwer dan Heyting yang mengatakan bahasa merupakan media tidak sempurna untuk komunikasi konstruksi mental matematika. Keduanya, logika menyangkut bentuk yang berlaku untuk penyebaran media ini dan tentu saja focus langsung pada bahasa dan logika telah jauh berpindah dari permasalahan yang seharusnya. Sebaliknya pendekatan utama Dummett, matematika dan logika adalah linguistic dari awal. Filosofinya lebih interest pada logika intuisionistik daripada matematika itu sendiri. Seperti Brouwer, tetapi tidak seperti Heyting, Dummet tidak memiliki orientasi memilih. Dummet mengeksplorasi matematika klasik dengan menggunakan bentuk pemikiran yang tidak valid pada suatu jalan legitimasi penguraian pernyataan alternatifnya. Ia mengusulkan beberapa pertimbangan mengenai logika adalah benar yang pada akhirnya harus tergantung pada arti pertanyaan. Ia juga mengadopsi pandangan yang diperoleh secara luas, yang kemudian disebut sebagai terminologi logika.
Dummet menegaskan bahwa arti suatu pernyataan tidak bisa memuat suatu unsur yang tidak menunjukkan penggunaannya. Untuk membuatnya, harus berdasarkan pemikiran individu yang memahami arti tersebut. Jika dua individu secara bersama setuju dengan penggunaan pernyataan yang dibuat, maka mereka pun menyetujui artinya.
Alasannya bahwa arti pernyataan mengandung aturan instrumen komunikasi antar individu. Jika seorang individu dihubungkan dengan simbol matematika atau formula, dimana hubungan tersebut tidak berdasar pada penggunaan, kemudian dia tidak dapat menyampaikan muatan tersebut dengan arti simbol atau formula tersebut, maka penerima tidak akan bisa memahaminya.Acuan arti pernyataan matematika secara umum, harus mengandung kapasitas untuk menggunakan pernyataan pada alur yang benar. Pemahaman seharusnya dapat dikomunikasikan kepada penerima. Sebagai contoh, seseorang mengerti ekspresi yang ada dalam bahasa “ jika dan hanya jika”.
PENUTUP
Sebagai metode untuk mendapatkan pengetahuan, baik Rasionalisme yang diusung oleh Descartes maupun Empirisme yang didukung oleh Hume masing – masing memiliki kelemahan-kelemahan yang mendasar. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah metode lain yang lebih dapat dimunculkan sebagai sebuah metode yang handal untuk pencarian pengetahuan tersebut. Salah satunya adalah dengan mengawinkan Rasionalisme dengan Empirisme sehingga kelemahan – kelemahan masing-masing aliran sebagai sebuah metode dapat diatasi.
Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan
Metode intuisionisme adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan melalui intuisi tentang kejadian sesuatu secara nisbi atau pengetahuan yang ada perantaraannya. Menurut Henry Bergson, penganut intusionisme, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui suatu pengetahuan secara langsung. Metode intuisionisme adalah metode untuk memperoleh pengetahuan dalam bentuk perbuatan yang pernah dialami oleh manusia. Jadi penganut intuisionisme tidak menegaskan nilai pengalaman inderawi yang bisa menghasilkan pengetahuan darinya. Maka intuisionisme hanya mengatur bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kattsoff, Louis O., 2004, introduction Element of Philosophy, diterjemahkan
2. Filsafat, terj. 2002, Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta
3. Anoliab,Watloly. 2005. Tanggung Jawab Pengetahuan Mempertimbangkan Epistimologi Secara Kultural . Yogyakarta : Kanisius